INFO SOSIOLOGI : Mobilitas Sosial Masyarakat Samin (Sedulur Sikep) di Gunung Kendeng Sukolilo, Pati Jawa Tengah

 Oleh: Retno Wahyuningsih, S. Pd


    Samin adalah salah satu suku yang berdiam di Pulau Jawa, tepatnya di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pemukiman suku Samin ini berada di sekitar Pegunungan Kendeng yang memanjang dari Pati di Jawa Tengah, hingga Tuban di Jawa Timur. Selain di sebut Samin atau orang Samin, ada beberapa sebutan lain yang digunakan untuk merujuk pada para penganut Saminisme ini, seperti wong Samin (orang Samin), wong Sikep (orang Sikep), Sedulur Sikep ataupun orang Kalang. Untuk yang terakhir, lebih digunakan sebagai hinaan pada orang Samin, sebagai orang rimba atau orang hutan yang tak tahu sopan santun. 
 

    Masyarakat Sedulur Sikep walau dapat dikatakan sebagai sebuah suku bangsa yang unik dengan jumlah yang relatif kecil namun Sedulur Sikep memiliki banyak keistimewaan yang jarang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat sampai saat ini masih kental dengan pengetahuan bahwa Orang Samin tidak beda dengan masyarakat yang terbelakang, teisolir dan anti kemajuan.   Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini di dapat dari ayahanda, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan.  

    Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata, sami-sami amin yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin.

    Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti. Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ide-idenya.

    Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga disita yang berjudul judul Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan kitab pandom kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa kepemipinan Saminisme terbagai dalam dua tahap, yaitu Samin Sepuh dan Samin Anom.

    Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.   

    


    Masyarakat suku Samin (Sedulur Sikep) mengalami mobilitas sosial vertical dan horizontal. Mobilitas sosial vertikal naik (social climbing) terjadi pada saat seseorang dari sedulur Sikep mampu melaksanakan dengan baik 4 pokok ajaran sedulur Sikep yang diterapkan dalam agama Adam yang mereka anut, antara lain tidak boleh bohong, tidak boleh mencuri, tidak boleh iri, tidak boleh bertengkar   Sehingga orang yang mampu melaksanakan ke empat pokok ajaran itu akan lebih dihormati dan dituakan di dalam lingkungan Sikep walaupun sebelumnya bukan termasuk orang yang dihormati, dalam hal ini maka stratifikasi seseorang tersebut akan naik dan mencerminkan terjadinya mobilitas sosial naik.

    Masyarakat sedulur Sikep juga mengalami mobilitas sosial vertikal turun (social sinking) apabila seseorang tidak menjalankan ke empat pokok ajaran agama adam dan sudah dianggap bahwa ia keluar dari masyarakat sedulur sikep maka ia mengalami mobilitas sosial vertikal turun. Mobilitas sosial turun juga pernah terjadi ketika salah seorang masyarakat Sikep mengeluarkan diri sebagai bagian dari mereka, semisal ketika mereka pindah di tempat lain dan sudah tidak mengamalkan empat ajaran pokok sedulur sikep lagi maka, dia secara otomatis akan dikeluarkan dari bagian sedulur Sikep.

    Mobilitas sosial horizontal geografik sedulur Sikep terjadi disaat salah seorang sedulur Sikep bekerja di luar daerah kediaman Sedulur Sikep. Seperti seorang Sedulur Sikep yang bernama Ibu............., beliau termasuk salah satu Sedulur Sikep yang bertempat tinggal di Kudus. Dia pindah ke kota Kudus karena mengikuti suaminya yang berasal dari kota tersebut. Namun, dalam konteks ini, suami Ibu........... telah masuk menjadi bagian dari Sedulur Sikep, bukan beliau yang keluar, namun suaminya yang harus mengikuti ajaran dan budaya Sedulur Sikep. Menurutnya, dia masih merupakan bagian dari Sedulur Sikep walau pun dia berbeda tempat tingga namun dia selalu berusaha menjalankan empat ajaran agama Adam, agama yang dianut oleh semua Sedulur Sikep.   Pada saat terjadi pernikahan, tempat tinggal anak yang sudah menikah yaitu mengikuti orang tua pihak perempuan (matrilokal) hingga pasangan baru tersebut memiliki tempat tinggal yang baru. Namun tidak jarang mereka tetap bertempat tinggal dalam satu rumah induk.

    Ketika salah seorang keluarga dari Sedulur Sikep meninggal dunia, mereka tidak pernah beranggapan bahwa keluarga mereka telah meninggal dunia. Ketika seorang suami yang ditinggal meninggal oleh istrinya saat ditanya dimana istrinya, dia akan menjawab bahwa istrinya sedang bekerja di sawah. Makam istrinya pun hanya berada di pekarangan rumah mereka. Peneliti pun terkejut ketika narasumber kami menyatakan bahwa halaman tempat kami diskusi saat ini merupakan bekas pemakaman, dan rumah kecil di samping depan halaman tersebut merupakan makam saudara mereka. Jadi mereka mengartikan jika salah satu dari mereka meninggal dunia, mereka hanya berpindah tempat saja.

    Mobilitas sosial antargenerasi masyarakat Sedulur Sikep tidak terlalu terlihat. Karena hampir semua Sedulur Sikep bermata pencaharian sebagai petani. Secara pendidikan pun mereka tidak ada yang menempuh pendidikan secara formal. Bagi mereka sekolah adalah belajar, sedangkan belajar bagi mereka adalah proses penanaman nilai-nilai dan orang tua menganggap nilai-nilai kehidupan tersebut cukup dipelajari langsung dari orang tua mereka. Orang tua juga percaya bahwa alam akan menjadi guru bagi mereka. Pembelajaran bagi mereka adalah cara bertahan hidup yaitu sebagai petani yang membuat mereka tidak perlu mempelajarinya di sekolah formal. Sehingga dilihat dari pekerjaan dan pendidikan tidak ada perbedaan yang menonjol antara orang tua dengan anakknya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Sedulur Sikep mengalami mobilitas sosial horizontal antargenerasi.

    Sedangkan mobilitas sosial intragenerasi Sedulur Sikep terjadi pada saat salah seorang sedulur Sikep dapat melaksanakan empat ajaran pokok agama Adam. Jika dai dapat melaksanakannya maka akan terjadi suatu pergerakan dimana dia akan dianggap sebagai sesepuh yang akan dihormati oleh masyarakat lainnya.

    Dalam mempertahankan budayanya, pergerakan Sedulur Sikep patut diacungi jempol. Mereka benar-benar kuat dalam berupaya mempertahankan kebudayaan yang selama ini mereka miliki. Seperti kecintaan mereka terhadap alam yang benar-benar mereka tunjukkan. Mereka berupaya untuk tetap melestarikan alam yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Sebagai bukti pergerakan mereka adalah saat peristiwa perlawanan mereka terhadap kaum kapitalis yang inigin menjadikan lahan pertanian mereka sebagai sebuah pabrik semen.

    Sekitar pertengahan 2008, PT Semen Gresik berencana berekspansi modal (sekitar 40% saham asing) ke Kabupaten Pati Jawa Tengah. Pabrik besar akan didirikan tepatnya di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang merupakan kawasan pertanian.   Tidak seperti warga lain yang biasanya menyukai bila tanah miliknya dibeli pemodal besar karena akan dihargai mahal, warga setempat anehnya menolak. Konon, penolakan warga ini dilatarbelakangi oleh sebuah pandangan hidup yang kita kenal dengan AJARAN SAMIN. Penolakan warga ini berbuntut panjang hingga sampai ke meja para wakil rakyat di Komisi VII DPR.

    Untuk menjaring aspirasi warga dan mengetahui latar belakang penolakan tersebut Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf mengadakan dialog dengan Komunitas Samin atau dikenal sebagai para Sedulur Sikep dan perwakilan dari tujuh desa yang bakal terkena dampak langsung pembangunan pabrik semen. Desa-desa itu diantaranya Desa Kedumulyo, Gadudero, Sukolilo, Baturejo, Sumbersoko, dan Tompe Gunung.

    Singkatnya, pertemuan digelar di rumah sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno yang usianya sudah mencapai 100 tahun, di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, 27 kilometer selatan pusat pemerintahan Kabupaten Pati, Minggu, 7 September 2008 lalu.   Hasil pertemuan itu adalah: Sonny Keraf meminta kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Menteri Negara Lingkungan Hidup menurunkan tim ke Sukolilo bersama-sama lembaga riset untuk mengetahui serta menyelami inspirasi warga setempat.   Kenapa warga menolak pembangunan pabrik semen? Ini berkaitan dengan keinginan warga Sedulur Sikep agar apa yang ada selama ini tidak berubah termasuk pola hidup sederhana yang sudah turun temurun termasuk keseimbangan ekologis yang sudah terjaga.

    Sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno saat diwawancarai harian Kompas (9/7), mengungkapkan alasan penolakan warga bahwa selama ini bidang pertanian merupakan sumber penghasilan dan kehidupan mereka. ”Dadi opo anak putuku kabeh setuju yen ono pembangunan pabrik semen (Jadi apa keturunanku semua setuju kalau ada pembangunan pabrik semen)?” kata Mbah Tarno. ”Mboten setuju banget (Sangat tidak setuju),” teriak warga yang memenuhi rumahnya.

    Bagi warga Sedulur Sikep apabila nanti Pabrik Semen Gresik jadi didirikan di wilayahnya, maka akan muncul dampak lingkungan yang mengancam kawasan Gunung Kendeng yang selama ini menjadi sumber ekologi (air, gua, hewan, tanaman) serta mengancam mata pencaharian bertani. Selain itu pegunungan kapur tersebut juga memiliki “Makna Budaya Dan Sejarah Bagi Masyarakat Sedulur Sikep Yang Memiliki Ekologi Kultural Nya Sangat Berelasi Dengan Lingkungan (Gunung)”.

    Peran pegunungan secara kultural bagi masyarakat Sedulur Sikep dan masyarakat lokal lainnya di wilayah Sukolilo, Pati, memiliki ikatan kesadaran simbolis yang terdapat dalam situs-situs kebudayaan yang banyak terdapat di pegunungan Kendeng. Kesadaran masyarakat lokal di wilayah Sukolilo yang mengikat dengan pegunungan Kendengan diantaranya WATU PAYUNG yang merupakan simbolisasi dari sejarah pewayangan Dewi Kunti, dimana beberapa situs narasi pewayangan tersebut terartikulasikan dalam beberapa relief alam yang terdapat di pegunungan Kendeng.

    Bukti perlawanan masyarakat Sikep terhadap kaum kapitalis yang dalam hal ini adalah pemilik modal pabrik semen Gresik terukir dengan adanya Rumah Kendeng yang dijadikan sebagai monumen sejarah masyarakat Sedulur Sikep. Di dalam rumah kendeng tersebut terdapat beberapa berita dan juga bukti-bukti lain yang menggambarkan perjuangan Sedulur Sikep dalam mempertahankan budayanya.

Lebih baru Lebih lama